saya masih ingat akan ego saya yang menyatakan bahwa saya bisa melakukan segalanya sendirian. tapi ternyata tidak. saya tidak benar - benar sendirian. wanita ini hanya berupaya terlihat tegar, namun pada realitanya, saya hanya berusaha untuk tegar. saya tahu, saya sebenarnya rapuh. orang yang paling rapuh. bahkan saya sudah kehabisan kata - kata untuk mengungapkan seberapa rapuhnya saya.

saya ingin serlari, selalu ingin berlari. tapi tidak bisa, karena segala realitas dan kenyataan ini benar - benar harus saya hadapi. sendiri? mungkin ya, mungkin juga tidak.
saya tidak tahu. saya berusaha mencoba untuk tetap teguh akan pendirian independensi yang saya anut. tapi semua itu pecah begitu saja. sekeras - kerasnya batu karang toh tetap hancur juga terkena ombak.

kali ini saya membuat orang tua saya terlibat dalam masalah ini. masalah rumit yang membawa saya jauh dari teman - teman saya, membawa saya menjadi pribadi yang tidak menyenangkan, pribadi yang penuh dengan kedukaan. tapi apa keputusan ini tepat?

saya tidak pernah ingin mengecewakan orang tua saya. saya berusaha sebaik - baiknya untuk menjadi panutan bagi keluarga. saya merupakan pribadi yang cukup kaku dalam urusan pendidikan. itu wajib bagi saya. senakal - nakalnya saya sebagai umat, saya ingin paling tidak memiliki sesuatu yang dapat dibanggakan. membuat yin dan yang, segalanya seimbang.

kemarin saya baru menghadiahi sebuah kebanggaan kecil atas diri saya kepada orang tua saya. ah, mungkin beasiswa ini hanya sedikit dari sepersekian hal yang patut dibanggakan di dunia ini. tapi paling tidak itu membuat saya bahagia, paling tidak ibu saya- orang pertama yang saya kabari- merasa senang, terdengar dari suaranya.

di sisi lain, saya membawa kekhawatiran yang mendalam bagi orang tua saya. beban ini tak mampu saya pikul sendiri bunda. saya tidak ingin membuat siapapun khawatir. terutama keluarga saya. tapi ternyata lutut ini tak lagi mampu menopang.

maafkan saya ayah, bunda.